Sunday 20 January 2013

adopsi anak dan bayi tabung

ADOPSI ANAK & BAYI TABUNG

  1. Adopsi Anak
Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat anda dan pasangan memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak. dalam perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur mengenai pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan pengangkatan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.
Sampai saat ini belum ada peraturan khusus dan tersendiri mengenai pengangkatan anak. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai pengangkatan anak ini, sedangkan dalam kenyataannya pengangkatan anak ini banyak terjadi, oleh karenanya pengaturannya kemudian diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang merupakan bagian dari keseluruhan aturan yang ada dalam Staatsblad tersebut dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa.
Karena sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Namun pengaturan di dalam Staatsblad ini secara prinsip hanya berdasarkan pada hubungan kekeluargaan yang hanya menarik garis keturunan dari pihak bapak, sehingga di dalam aturannya hanya memperbolehkan pengangkatan anak bagi anak laki-laki. Sedangkan pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah. Sejalan dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam masyarakat, akhirnya pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini pengaturan mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan. Diantaranya adalah Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. Dengan demikian pengaturan mengenai pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan dengan pengangkatan anak dinyatakan tidak berlaku apabila bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta syarat-syarat mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984.
  1. Mengadopsi Anak Menurut Hukum Islam
Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak.
Oleh karena itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya. Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini (Republika.Co.Id, Jakarta). Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan :
anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri.
Para ulama di Tanah Air telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing, selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa. Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah."Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW :
"Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya”
Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Hanya saja, MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surat al-Ahzab ayat 4:
"Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar."
Begitu pula surat al-Ahzab ayat 5:
"Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maulamaula (hamba sahaya yang di merdekakan".
Surat al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan :
"Muhammad itu sekalikali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantaramu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.
  1. Mengadopsi Anak Menurut Agama Lain
  2. Mengadopsi Anak Menurut Jenis Kelamin
  3. Mengadopsi Anak Menurut Ikatan Keluarga
  4. Mengadopsi Anak Menurut
  5. Pihak yang dapat mengajukan adopsi
  1. Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/lHUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
  1. Orang tua tunggal
  1. Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya. Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
  1. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
  1. Tata Cara Mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
  1. Isi Permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah :
      • Motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
      • Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
  1. Yang Dilarang Dalam Permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu : menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak dan pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
  1. Pencatatan di Kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
  1. Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
  1. Perwalian
    Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
  2. Waris
    Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
  1. Bayi Tabung
  1. Pengertian
Bayi tabung atau pembuahan in vitro (in vitro fertilisation) adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Teknologi ini dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards pada tahun 1977, Bayi tabung pertama yang lahir ke dunia adalah Louise Joy Brown pada tahun 1978 di Inggris (Wikipedia).
  1. Proses Bayi Tabung
  1. Pertama seleksi apakah pasien memenuhi syarat atau tidak.
  1. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
  1. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah Istri dan pemeriksaan ultrasonografi.
  1. Dalam IVF, dokter akan mengumpulkan sel telur sebanyak- banyaknya untuk memilih yang terbaik diantaranya. Untuk melakukannya, si pasien akan diberikan hormon untuk menambah jumlah produksi sel telur. Proses injeksi ini dapat mengakibatkan adanya efek samping.
  1. Pengambilan sperma suami (pada hari yang sama). Jika tidak ada masalah, pengambilan dilakukan lewat masturbasi. Jika bermasalah, pengambilan sprema langsung dari buah zakar melalu operasi.
  1. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel

  1. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
  1. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi, dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
  1. Permasalahan Hukum Perdata yang Timbul Dalam Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan yang timbul antara lain adalah :
  1. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses
inseminasi buatan ?
  1. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris ?
  2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya ? Darimanakah ia memiliki hak mewaris ?
  1. Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
  1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri
  • Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
  • Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum Pasal 255 KUHPer.
  • Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer).
  1. Jika semua benihnya dari Donor
  • Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
  • Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat meng-cover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya.
Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.
  1. Kasus Inseminasi Buatan di Amerika Serikat
Mary Beth Whitehead sebagai ibu pengganti (surrogate mother) yang berprofesi sebagai pekerja kehamilan dari pasangan William dan Elizabeth Stern pada akhir tugasnya memutuskan untuk mempertahankan anak yang dilahirkannya itu. Timbul sengketa diantara mereka yang kemudian oleh Pengadilan New Jersey, ditetapkan bahwa anak itu diserahkan dalam perlindungan ayah biologisnya, sementara Mrs. Mary Beth Whitehead (ibu pengganti) diberi hak untuk mengunjungi anak tersebut.
  1. Negara Lain
Negara yang memberlakukan hukum islam sebagai hukum negaranya, tidak diperbolehkan dilakukannya inseminasi buatan dengan donor dan dan sewa rahim. Negara Swiss melarang pula dilakukannya inseminasi buatan dengan donor. Sedangkan Lybia dalam perubahan hukum pidananya tanggal 7 Desember 1972 melarang semua bentuk inseminasi buatan. Larangan terhadap inseminasi buatan dengan sperma suami didasarkan pada premis bahwa hal itu sama dengan usaha untuk mengubah rancangan ciptaan Tuhan.


No comments:

Post a Comment