ADOPSI
ANAK & BAYI TABUNG
- Adopsi Anak
Adopsi anak adalah
salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak.
Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari
sepi
pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang
menjadikan
anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki
keturunan
kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat anda dan pasangan
memutuskan
akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan
keikhlasan
serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak.
dalam
perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan
masyarakat,
tujuan pengangkatan anak telah berubah menjadi untuk
kesejahteraan
anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang
Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
yang
berbunyi:
“Pengangkatan
anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan
pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya
ketentuan
hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai
pengangkatan
anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang
tertulis
maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan
permasalahan
diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak terutama
sekali bagi anak yang diangkat.
Dalam
perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4
Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli
1979
maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak diarahkan untuk
mewujudkan
kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun sampai saat ini
masih
terdapat beragam peraturan yang mengatur mengenai pengangkatan
anak,
sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-permasalah dan
hambatan-hambatan
walaupun tujuan akhir pelaksanaan pengangkatan anak
adalah
mewujudkan kesejahteraan anak.
Sampai saat ini
belum ada peraturan khusus dan tersendiri mengenai pengangkatan anak.
Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai
pengangkatan anak ini, sedangkan dalam kenyataannya pengangkatan anak
ini banyak terjadi, oleh karenanya pengaturannya kemudian diatur
dalam Staatsblad
1917 Nomor 129 yang merupakan bagian dari keseluruhan aturan yang ada
dalam Staatsblad
tersebut
dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa.
Karena sebagian
besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut berlaku bagi
masyarakat Tionghoa. Namun pengaturan di dalam Staatsblad
ini
secara prinsip hanya berdasarkan pada hubungan kekeluargaan yang
hanya menarik garis keturunan dari pihak bapak, sehingga di dalam
aturannya hanya memperbolehkan pengangkatan anak bagi anak laki-laki.
Sedangkan pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah. Sejalan
dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam
masyarakat, akhirnya pengangkatan anak bagi anak perempuan
diperbolehkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta
Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto
nomor
588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini pengaturan mengenai
pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan.
Diantaranya adalah Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23
Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam
pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut
harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan
orang tua kandungnya. Dengan demikian pengaturan mengenai
pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad
Tahun
1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan dengan pengangkatan
anak dinyatakan tidak berlaku apabila bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta
syarat-syarat mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan
Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984.
- Mengadopsi Anak Menurut Hukum Islam
Islam telah lama
mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau
pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung,
yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Tabanni secara
harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain
untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu
dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan
lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai
sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri
yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak.
Oleh karena itu,
sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar
mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk
mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya. Di Indonesia,
peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini (Republika.Co.Id,
Jakarta). Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan :
“anak angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua
asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
MUI mengharapkan
supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk
memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang,
seperti anak sendiri.
Para ulama di Tanah
Air telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia oleh Warga
Negara Asing, selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga
merendahkan martabat bangsa. Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas
Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah
menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan
bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan,
diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah."Sebagai dasar
hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW :
"Barang siapa mengaku
orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan
bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya”
Pengangkatan anak
tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam
nasab, mahram maupun hak waris. Kalangan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Pada salah satu
butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui
keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan
(pernikahan). Hanya saja, MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi)
anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan
ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat
Islam. Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surat al-Ahzab ayat 4:
"Dan,
dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja.
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang
benar."
Begitu pula surat
al-Ahzab ayat 5:
"Panggilan
mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka,
itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama
dan maulamaula (hamba sahaya yang di merdekakan".
Surat al-Ahzab ayat
40 kembali menegaskan :
"Muhammad
itu sekalikali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantaramu,
tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.
- Mengadopsi Anak Menurut Agama Lain
- Mengadopsi Anak Menurut Jenis Kelamin
- Mengadopsi Anak Menurut Ikatan Keluarga
- Mengadopsi Anak Menurut
- Pihak yang dapat mengajukan adopsi
- Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai
adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun
1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang
pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu
Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/lHUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat
untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin
dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak,
sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini
berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi
sosial.
- Orang tua tunggal
- Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini
mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang
selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat
perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau
janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak,
maka janda tersebut tidak dapat melakukannya. Pengangkatan anak
menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan
hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi
(Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963,
telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
- Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan
pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan
orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan
anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang
tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single
parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau
Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak,
ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
- Tata Cara Mengadopsi
Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak
menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu
mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk
permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke
panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri
atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
- Isi Permohonan
Adapun isi
Permohonan yang dapat diajukan adalah :
- Motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
- Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
- Yang Dilarang Dalam Permohonan
Ada beberapa hal
yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan
anak, yaitu : menambah permohonan lain selain pengesahan atau
pengangkatan anak dan pernyataan bahwa anak tersebut juga akan
menjadi ahli waris dari pemohon.
- Pencatatan di Kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan
Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan
Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini
harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan
dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak
tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama
Anda sebagai orang tua angkatnya.
- Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak
berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
- Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. - Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
- Bayi Tabung
- Pengertian
Bayi
tabung
atau pembuahan
in vitro
(in
vitro fertilisation)
adalah sebuah teknik pembuahan
dimana sel
telur
(ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu
metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak
berhasil. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara
hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium
dan pembuahan oleh sel
sperma
dalam sebuah medium cair. Teknologi
ini dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards pada tahun 1977, Bayi
tabung pertama yang lahir ke dunia adalah Louise Joy Brown pada tahun
1978 di Inggris (Wikipedia).
- Proses Bayi Tabung
- Pertama seleksi apakah pasien memenuhi syarat atau tidak.
- Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
- Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah Istri dan pemeriksaan ultrasonografi.
- Dalam IVF, dokter akan mengumpulkan sel telur sebanyak- banyaknya untuk memilih yang terbaik diantaranya. Untuk melakukannya, si pasien akan diberikan hormon untuk menambah jumlah produksi sel telur. Proses injeksi ini dapat mengakibatkan adanya efek samping.
- Pengambilan sperma suami (pada hari yang sama). Jika tidak ada masalah, pengambilan dilakukan lewat masturbasi. Jika bermasalah, pengambilan sprema langsung dari buah zakar melalu operasi.
- Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel
- Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
- Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi, dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
- Permasalahan Hukum Perdata yang Timbul Dalam Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
Inseminasi buatan
menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila sperma/sel telur
datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal
ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan
tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan
yang timbul antara lain adalah :
- Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses
inseminasi buatan ?
- Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris ?
- Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya ? Darimanakah ia memiliki hak mewaris ?
- Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
- Jika benihnya berasal dari Suami Istri
- Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
- Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum Pasal 255 KUHPer.
- Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer).
- Jika semua benihnya dari Donor
- Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
- Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan
yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan
yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio
ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak
dapat meng-cover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak
yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke
dalam rahim ibunya.
Secara khusus,
permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi
berasal dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum
ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi
fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai
hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang
dilarang.
- Kasus Inseminasi Buatan di Amerika Serikat
Mary Beth Whitehead
sebagai ibu pengganti (surrogate mother) yang berprofesi sebagai
pekerja kehamilan dari pasangan William dan Elizabeth Stern pada
akhir tugasnya memutuskan untuk mempertahankan anak yang
dilahirkannya itu. Timbul sengketa diantara mereka yang kemudian oleh
Pengadilan New Jersey, ditetapkan bahwa anak itu diserahkan dalam
perlindungan ayah biologisnya, sementara Mrs. Mary Beth Whitehead
(ibu pengganti) diberi hak untuk mengunjungi anak tersebut.
- Negara Lain
Negara yang
memberlakukan hukum islam sebagai hukum negaranya, tidak
diperbolehkan dilakukannya inseminasi buatan dengan donor dan dan
sewa rahim. Negara Swiss melarang pula dilakukannya inseminasi buatan
dengan donor. Sedangkan Lybia dalam perubahan hukum pidananya tanggal
7 Desember 1972 melarang semua bentuk inseminasi buatan. Larangan
terhadap inseminasi buatan dengan sperma suami didasarkan pada premis
bahwa hal itu sama dengan usaha untuk mengubah rancangan ciptaan
Tuhan.